Waktu diberi tawaran untuk jadi contributor writer untuk buku Youthlab Indonesia awalnya excited dan super senang karena dipercaya untuk jadi bagian project seperti ini. Ketika mau mulai menulis, yang ada di otak malah “Mati! Mau nulis apa, ya?” Hahaha. But back to the main topic, I have to write about what I know and what I’m doing now about youth marketing that might inspire the youth generation. Ngomongin marketing alias pemasaran ga bakal jauh dari yang namanya jualan. I was only 18 years old when I bravely start my little percussion group into a serious music-business. I remember when I was only a little girl; I spent most of my childhood following my dad from one place to another to see him perform with his friends playing music. Aku beruntung karena lahir, tumbuh, dan besar di keluarga yang darah seninya kuat terutama di bidang musik. Ayahku kebetulan drummer dan mendiang pamanku juga pemain perkusi. Dan sampai sekarangpun ayahku masih menjalani bisnis agensi musiknya dan juga m
Sudah tidak bisa dipungkiri lagi, bahwasanya saat ini anak muda bukan lagi target market yang “mati”. Kenapa mati? Dahulu kala, kalau tidak mau disebut jaman purba, banyak produsen yang menganggap anak muda sebagai target yang pasti akan menuruti apa yang “diperintahkan” oleh produsen dari sebuah brand, istilah jawanya, anak muda kala itu nrimo. Tapi tidak dengan anak muda masa kini yang sudah melek informasi. Kenapa saya bisa yakin dengan ini? Karena saya berkaca pada pengalaman diri saya secara pribadi yang masih tergolong muda, tapi sudah tidak pantas untuk disebut sebagai ABG (Anak Baru Gede). Saya masih ingat, rentang waktu 1996-2000, banyak anak muda yang memakai pakaian yang sama persis, bukan hanya brand yang mereka pakai sama, tetapi model, warna, serta gambar, corak atau motif sekalipun di pakaian yang mereka pakai itu sama, karena memang itu produk dari merk yang sama. Sedih saya melihatnya, karena jujur, saya sebagai anak muda tidak mau selalu bertindak alakadarnya atau se